Jumat, 13 Mei 2011

PostHeaderIcon HUTAN LEBIH DARI SEKEDAR KAYU




Dikutip dari:
“Buku yang menunjukkan ketepatan ramalan seorang Emil Salim tentang beragam persoalan lingkungan yang bakal terjadi. Jauh hari Emil Salim sudah berbicara tentang krisis air, merosotnya kualitas tanah dan hutan, menciutnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan meningkatnya kota-kota berpenduduk banyak dengan segala implikasinya. Tulisan ini juga menunjukkan konsistensi keberpihakkannya terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Karenanya, ia memang layak disebut “Paus” Lingkungan Hidup Indonesia.” 

Sonny Keraf
MANTAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP 1999-2001




HUTAN LEBIH DARI SEKEDAR KAYU 



Hutan berisikan lebih dari sekedar kayu bundar untuk untuk kayu lapis / perabot rumah yang diekspor. Hutan memuat hasil luar kayu, seperti buah, bahan serat, tumbuhan obat dan plasma nutfah untuk berbagai kebutuhan hidup. Hutan adalah rumah tempat permukiman dan sumber kehidupan spriritual masyarakat lokal. Hutan adalah penadah hujan pencegah banjir di musim hujan dan penyimpanan air untuk musim kemarau. Hutan adalah penyerap asap pencemaran karbon dan pelepas udara bersih.

Fungsi ekonomi hutan adalah memberi bahan industri kayu, menjadi sumber devisa, memebuka lapangan kerja dan menaikkan pendapatan nasional. Tetapi, hutan juga fungsi ekologi terdiri atas beragam ekosistem sebagai tempat hunian tumbuhan dan hewan, serta fungsi sosial budaya sebagai tempat hunian masyarakat lokal dan sumber inspirasi bagi para seniman.

Hutan memiliki fungsi ganda, maka kelompok yang berkepentingan dengan hutan beraneka ragam. Ada kelompok yang berkepentingan dal fungsi ekonomi. Mereka adalah pemegang HPH (Hak Penguasaan Hutan), industriawan kayu, pejabat pemerintahan yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, traansmigarasi, permukiman penduduk dan umumnya mereka yang ingin mengeksploitasi hutan demi kayu bundar / tanah serta bahan mineral di bawah hutan.

Adapun, kelompok yang berkepentingan dengan kelestarian hutan seperti pakar keanekaragaman hayati, pengelola jamu dan oabt, pengelola banjir, air tanah dan pencegah erosi tanah, wisatawan alami, pejabat instansi lingkungan hidup, departemen kesehatan, para peneliti dan umumnya mereka yang memetik manfaat dari hutan yang utuh.

Kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai habitat tempat hunian masyarakat lokal, tempat berburu, bercocok tanam serta alami dan sumber daya kehidupan spiritual. Hutan memberi penduduk setempat makanan alami, lapangan pekerjaan, dan sumber kehidupan. Hutan diolah, namun dibawah ambang batas kemampuan pembaharuan diri hutan sebagai sumber alam yang bisa diperbaharui.

Bertolak dari kepentingan ini, maka hutan sebagai sumber alam dikeroyok oleh berbagai pihak. Penentuan penggunaan hutan cenderung ditentukan oleh ungkapan “siapa yang kuat, dia yang dapat.”

Dalam kemajuan peradaban manusia sekarang ini diperlukan pola penyelesaian penggunaan hutan secara lebih canggih. Untuk ini diperlukan sasaran tunggal yang sama disepakati oleh semua pihak yang berbeda kepentingan. Banyak pakar memilih sebagai sasaran yang tunggal ini: penggunaan hutan hutan secara adil dan berkelanjutan. “Berkelanjutan” karena hutan adalah sumber daya alam yang bisa diperbaharui, sehingga bisa dipangkas secara terus-menerus sehingga berlanjut selama hukum ekologi diindahkan. “Adil” karena hutan bukan milik perorangan tetapi milik masyarakat, sehingga penggunaannya haruslah diatur pemerintah seadil mungkin ditinjau dari sudut kepentingan masyarakat umum.

Ditinjau dari sudut “penggunaan hutan secara adil dan berkelanjutan” ini, maka dalam ruang lingkup negara berkembang, seperti halnya tanah-air kita, segera muncul beberapa pertanyaan.

* Bagaimanakah penggunaan hutan bisa ikut mengentaskan kemiskinan sebagai masalah yang masih pokok bagi negara berkembang?

* Hutan milik bersama, pengelolaannya seperti, plasma nutfah yang menjadi bahan baku obat farmasi, seyogyanya tidak hanya dilindungi hak paten bagi penemu obat farmasi semata-mata, tetapi memuat perlindungan dan imbalan bagi penduduk lokal dan masyarakat umum yang memiliki plasma nutfah tersebut. Mekanisme pasar yang berlaku dalam ekonomi tidak melindungi kepentingan masyarakat umum sebagai pemilik hutan tersebut.


* Hutan tidak hanya berisikan tumbuhan dan hewan, tetapi merupakan tempat hunian penduduk lokal. Kehadiran mereka sejak dahulu adalah realitas. Jika pola hidup mereka berbeda dengan penduduk umumnya, maka ini bukan alasan untuk mengingkari hak mereka akan hutan sebagai tempat hunian mereka. Penduduk asli ada yang hidup dalam hutan dengan “celana” dari bahan tumbuhan, namun dengan orientasi hidup memelihara kemurnian sungai sebagai sumber kehidupan. Pola hidup manakah lebih “beradab” jika mereka ini dibandingkan dengan penduduk-datang bercelana, namun membangun kakus merusak dan mengotori sungai? Dalam mengelola hutan, kepentingan penduduk lokal harus dilindungi terutama oleh pemerintah sebagai wakil masyarakt umum. Bila ingin diusahakan perubahan dalam pola hidupnya, maka seyogyanya ini dilakukan menurut hasrat mereka sendiri.


* Penduduk setempat seperti peladang-berpindah dituduh merusak hutan sehingga perlu “ditertibkan”. Pengalaman dengan suku Dayak di Putussibau, Klimantan Barat, mengungkapkan bahwa sesungguhnya pola ladang-berpindah masih serasi dengan ekosistem hutan. Namun jika penduduk luar berdatangan dan mempersempit ruang hidup peladang-berpindah ini, maka siklus berpindah ini menjadi semakin sempit sehingga terjadi kerusakan lingkungan. Yang diperlukan adalah eksesibilitas peladang-berpindah ini pada tanah yang bisa dikelolanya dengan teknologi tanam bertani menetap. Para peladang berpindah seyogyanya tidak perlu menjadi obyek penertiban, tetapi sebagai subyek pembangunan perlu dibawa serta dalam proses pembangunan yang lebih maju.

* Agar hutan dapat dikelola secara berlanjut sangatlah penting diterapkan teknologi penebangan hutan dengan dampak kerusakan sekecil mungkin. Ongkos penebangan mungkin lebih tinggi namun diimbangi oleh keberlanjutan usaha yang lebih ramah lingkungan dengan kurun waktu jangka panjang.

Dalam konteks ekonomi dunia, maka pasar global turut mempengaruhi pola pengelolaan hutan, sehingga tampil ke depan kebutuhan mengembangkan kebijakan perdagangan hutan dengan wawasan lingkungan. Permasalahan menjadi bagaimana mengoreksi “kerancuan pasar” yang tidak menampung pertimbangan lingkungan. Untuk ini peranan pemerintah sangat penting sebagai kekuatan pengoreksi kerancuan pasar ini melalui kebijakan fiskal / pengalokasian dana anggaran serta kebijakan makro ekonomi lainnya. Penting membangkitkan “kekuatan konsumen” dengan mendidik konsumen menghasrati produk dari pengusahaan hutan yang ramah lingkungan. Dalam rangka inilah perlu ditempatkan peranan ekolabel sebagai pemberi informasi kepada masyarakat mengenai produk yang ramah lingkungan.

Baik pemerintah maupun konsumen berkepentingan dengan pengelolaan hutan berwawasan lingkungan, oleh karena hutan memberikan manfaat bagi kelompok dengan kepentingan yang berbeda. Berbagai kepentingan ini bisa dipenuhi asalkan pola pengelolaan hutan bersifat adil dan berkelanjutan.

Proses globalisasi yang melanda dunia sekarang ini menjadikan kehidupan antar bangsa semakin saling mengkait dan saling bergantungan. Konsumsi produk di satu belahan bumi memengaruhi eksploitasi sumber alam dibelahan bumi lain.

Penduduk dunia diperkirakan naik dengan dua kali lipat pada pertengahan abad ke-21 ini. Pola konsumsi penduduk dunia akan semakin meningkat sehingga memerlukan dukungan sumber daya alam yang semakin banyak. Dalam hubungan inilah hutan memegang peranan yang makin penting. Bukan saja dalam fungsi ekonominya, tetapi lebih dalam fungsi sosial-budaya dan ekologinya. Banjir yang melanda di bagian besar penjuru dunia, hujan salju yang tebal, kemudian musim kemarau yang panjang tidak menentu, serta kabut pencemaran yang makin banyak tidak tertampung oleh luas hutan yang menciut-semua ini merupakan ancaman bagi kehidupan manusia yang nyata.

Syukurlah manusia dianugerahi akal pikiran yang panjang untuk bisa mengupayaka jalan keluar atas kemelut ancaman hidupnya. Akal pikiran yang mampu mengembangkan ilmu dan teknologi memegang peranan penting, namun belum cukup jika tidak dibarengi dengan orientasi pandangan hidup yang mampu menjangkau wawasan lingkungan.

Untuk mengembangkan wawasan lingkungan inilah, permulaan Maret 1996 sejumlah pakar dan penentu kebijakan pembangunan hutan berwawasan lingkungan berkumpul di Jakarta, menggelar dengar pendapat menimba pengalaman dan kebijaksanaan dari masyarakat kawasan Asia termasuk Indonesia, untuk dijadikan masukan bagi pengembangan model mempertemukan beda kepentingan dalam mengelola hutan secara adil dan berkelanjutan untuk menyongsong kehidupan yang lebih manusiawi dalam abad ke-21 mendatang.







Sumber:
Salim, Emil. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Desti Wulandari
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
* Mahasiswi Universitas Lampung * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik * Jurusan Sosiologi'10
Lihat profil lengkapku

Total Tayangan Halaman

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
Chococat is a registered trademark of Sanrio Co., Ltd. ("Sanrio"), and the images are copyrighted by Sanrio.