Senin, 10 Oktober 2011
Pola Perubahan Sosiokultural Pitirim A. Sorokin
19.32 | Diposting oleh
Desti Wulandari |
Edit Entri
PERSPEKTIF
TENTANG PERUBAHAN SOSIAL
Pola Perubahan
Sosiokultural
Pitirim A. Sorokin
Pitirim A. Sorokin
(1889-1968) adalah contoh pemikir terakhir. Ia
melihat berbagai lingkaran dalam proses historis. Ia lahir di Rusia,
dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah komunis di tahun 1918 dan dibuang tahun
1922. Ia menghabiskan sisa hidupnya di AS. Ia menulis beberapa karya penting di
bidang mobilitas sosial, teori sosiologi, dan perubahan sosiokultural. Ia membahas
keseluruhan sejarah Barat dalam upaya menentukan pola historis perubahan
sosial. Dalam karyanya Sosial and
Cultural Dynamics, ia menganalisa perubahan sosial mulai dari tahun 600 SM
hingga sekitar 1935. Analisa ini dipusatkan pada peradaban Barat ( termasuk
Yunani-Romawi), namun mengambil bahan tertentu dari kebudayaan Cina, Hindu dan
Arab.
Menurut Sorokin
peradaban bukanlah kesatuan yang integrasi, karena itu tidak dapat diperlukan
sebagai unit analisis. Ia menggunakan metode “logika penuh arti”
(logico-meaningful). Metode ini mencakup upaya penemuan prinsip sentral tempat
tersusunnya sebuah sistem dan yang memberi arti terhadap setiap unsurnya
(subsistem). Metode ini menghasilkan 3
sistem sosiokultural / supersistem. Sebuah kultur besar merupakan sebuah
kesatuan unsur yang dirembesi oleh prinsip sentral yang sama dan membentuk
nilai dasar yang sama.
Ketiga supersistem
tersebut yaitu:
1.
Sistem ideasional
Diliputi
oleh prinsip yang menyatakan Tuhan sebagai realitas tertinggi dan nilai
terbesar. Sistem ini terbagi atas:
a.) Ideasional
asketik : menunjukkan keterikatan pada tanggungjawab untuk mengurangi ssebanyak
mungkin kebutuhan duniawi agar mudah terserap kedalam alam transeden.
b.) Ideasional
aktif : mengurangi kebutuhan duniawi juga berupaya mengubah dunia material agar
selaras dengan alam transeden.
2.
Sistem inderawi
Prinsip
berpikir bahwa dunia nyata, yang terserap pancaindra, adalah realitas dan nilai
tertinggi, satu-satunya kenyataan yang ada. Mentalitas budaya ini terbagi tiga
:
a.) Inderawi
aktif : mendorong usaha aktif dan giat meningkatkan pemenuhan kebutuhan
material dengan mengubah dunia fisik sehingga menghasilkan sumber kepuasan dan
kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan ilmu dan teknologi.
b.) Inderawi
pasif : menikmati kesenangan duniawi setinggi-tingginya. Sorokin
menggambarkannya sebagai suatu “eksploitasi parasit“, dengan motto :
“makan,minum, dan kawinlah sepuasnya karena besok kita akan mati“. Mengejar
kesenangan hidup tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apapun.
c.) Inderawi
sinis : pengejaran tujuan duniawi dibenarkan oleh rasionalisasi
ideasionalisasi. Dengan kata lain menunjukkan usaha yang bersifat munafik yang
membenarkan pencapaian tujuan material dengan menunjukkan sistem nilai
transeden yang pada dasarnya ditolaknya.
3.
Sistem campuran (idealistis)
Realitas
dan nilai, sebagian dapat diserap indra dan sebagiannya lagi dipandang bersifat
transeden, tak terserap oleh alat inderawi.
a.) Mentalitas
idealistis : pengertian mengenai aspek tertentu dari realitas tertinggi.
b.) Mentalitas
ideasional tiruan : didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur
ideasional hidup berdampingan dengan unsur inderawi, selaku dua prinsip
berlawanan jadi, keduanya tidak terintegrasi secara sistematis kecuali sekedar
berdampingan saja.
Singkatnya, kultur ideasional menekankan pada aspek
ritual dan non-material, kultur inderawi (sensate) menekankan pada aspek material
dan kesenangan lahiriah (hedonistik), dan kultur campuran menyeimbangkan antara
ideasional dan inderawi, biasanya lebih mengutamakan ideasionalnya ketimbang
inderawi.
Menurut Sorotin terdapat aspek kualitatif dan aspek
kuantitatif dari pertumbuhan dan kemunduran sistem sosiokultural. Untuk
memahaminya diperlukan pemahaman 3 komponen sistem sosiokultural empiris, yakni
sistem makna, mesin dan agen kemanusiaannya. Sorokin berpendapat bahwa
pertumbuhan kuantitatif terutama mengacu kepada peningkatan kuantitatif wahana
atau agen atau keduanya. Pertumbuhan kualitatif, mencakup berbagai peningkatan
/ perbaikan sistem makna, wahana dan agennya / ketiganya. Pertumbuhan kualitatif
ini disebut disebut sorokin sebagai tingkat perkembangan masyarakat yang
terwujud dengan sendirinya pada tingkat individual.
Gejala perpecahan yang agak seragam dalam sistem
sosiokultural adalah penggantian kebesaran kuantitatif dengan kemuliaan kualitas.
Sorokin melihat penurunan kualitatif sejalan dengan peningkatan kuantitatif. Sebuah
sistem akan mati, jika sistem maknanya semakin memburuk sehingga tidak diakui
lagi / jika wahana, agen kemanusiaan / keduanya lenyap sama sekali.
Sorokin berpendapat, bahwa pertama didalam sistem
yang terintegrasi dengan erat, perubahan akan terjadi secara keseluruhan,
seluruh bagian akan berubah bersama. Kedua, terjadi di beberapa bagian tertentu
tanpa terjadi dibagian lain. Ketiga, jika suatu kultur hanya merupakan pengelompokan
semata maka setiap bagian mungkin berubah tanpa mempengaruhi bagian lainnya.
Keempat, jika kultur itu tersusun dari sejumlah sistem dan kumpulan yang hidup
berdampingan secara damai, maka kultur itu akan berubah secara berbeda disetiap
bagian yang berbeda. Berbagai unsur akan
berubah, baik serentak / terpisah, tergantung pada tingkat integrasi berbagai
unsur itu.
Sorokin mengemukakan 3 kemungkinan penjelasan
mengenai perubahan sosiokultural. Pertama, perubahan mungkin diakibatkan faktor
eksternal terhadap sistem sosiokultural. Kedua, teori keabdian. Perubahan
terjadi karena faktor internal yang ada didalam sistem itu sendiri. Sistem itu
sendirilah yang bersifat berubah: “sistem tak dapat membantu perubahan,
meskipun semua kondisi eksternal tetap”. Ketiga, mencari penyebab perubahan
baik pada faktor internal maupun eksternal.
Ia menandaskan setiap sistem sosiokultural tertentu
jelas akan mengalami perubahan akibat aktivitasnya sendiri: setiap sistem yang
hidup dan aktif, slalu berubah. Di tahun 1941 ia menulis: “krisis kemanusiaan
bukanlah diciptakan Hitler, Stalin / Mussolini, krisis yang sudah ada itulah
yang menciptakan mereka menjadi alatnya dan menjadi bonekanya”.
Kelemahan utama sorokin adalah kurangnya perhatian
pada faktor sosial-psikologis. Peran manusia dalam membentuk masa depannya
sedikit sekali dalam sistem berfikir Sorokin. Tetapi, penekannya pada pemahaman
antar hubungan fenomena sosial yang mengalami perubahan, dan pemahamannya terhadap
metodologi ilmiah yang benar, membantu kita dalam studi untuk memahami
perubahan sosial.
Label:
Tugas Kampus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Desti Wulandari
- Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
- * Mahasiswi Universitas Lampung * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik * Jurusan Sosiologi'10
Blog Archive
-
▼
2011
(67)
-
▼
Oktober
(11)
- Sistem Sosial Budaya Indonesia
- MAKALAH KONSTITUSI
- PERKEMBANGAN EVOLUSIONER Menurut Auguste Comte:
- Perspektif Sosiohistoris: Perkembangan
- STRUKTUR SOSIAL
- Tinjaun Pustaka, Landasan Teori, Penentuan Variabe...
- Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar V...
- Unsur-unsur Penelitian Survei
- Metode Penelitian
- Proses Penelitian
- Pola Perubahan Sosiokultural Pitirim A. Sorokin
-
▼
Oktober
(11)
Total Tayangan Halaman
Pengikut
Labels
- ✿ ♥ ✿ (1)
- 2013 m (1)
- Alone (1)
- ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL (1)
- Beberapa Cara Membaypass Login Mikrotik Wi-Fi (HotSpot) (1)
- BELIEVE (1)
- Cara Membuat Subtitle indonesia dari Film Luar (1)
- Cara Rahasia Shortcut Ctrl+Enter pada Browser (1)
- CATNIP [Nepeta Cataria] (1)
- Curhat (2)
- health (3)
- Hope (1)
- Idul Adha 1433H (1)
- Kemaro Island (1)
- LAST MESSAGE FULL MEANING OF LIFE WITH HUMILITY (1)
- Mangan (1)
- Mengenang (1)
- Mungilnya Strawberry ku_^ (1)
- Nilai dan Norma (1)
- pengetahuan (1)
- Politik Hukum (1)
- Pray (1)
- Ramadhan (2)
- Sains (2)
- SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU (1)
- STORY (4)
- Tanpa Nama ... ??? (1)
- Teknologi (1)
- Tips (2)
- Tree (1)
- Tugas Kampus (80)
- Unik (20)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar