Kamis, 03 November 2011
Paradigma-paradigma Sosiologi
09.18 | Diposting oleh
Desti Wulandari |
Edit Entri
Paradigma-paradigma Sosiologi
Secara sederhana paradigma kita artikan
sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati.
Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution
(Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu
kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma
dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi
paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori
yang baru yang mengikutinya.
Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated
oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science
(Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini
penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan
buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga
paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu
Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu
paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari
paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas
pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah
dalam struktur dan makna teori itu. Sehingga, pada
ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.
Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh
Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua
karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide
(1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan
Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik
pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan
baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah
hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August
Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial.
Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi
ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap
perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan
intelektual.
Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan
dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap
sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat
dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan
dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan
pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas
maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian
yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas
data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu
struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social
instistution).
Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah :
Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori
Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural
dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya
adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi
kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung
melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan
secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya
adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan
pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial
sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik
adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber
untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok
persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan
sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada
penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial,
Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative
understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi
(dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz,
dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.
Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini
dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari
ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai
tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang
konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan
perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement).
Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu
sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori
Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif
yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan
istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa
penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro
masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam
penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan
perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses
berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial.
Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada
“tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih
menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan
suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas
sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan
mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga
bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan
interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas
oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan
yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi
dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi
mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi
dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan
(2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau
substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik,
ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat.
Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada
itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan
memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.
Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma
ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor
penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia
dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme
Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam
proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara
kelas atas dan kelas bawah.
Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi,
untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini
akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma
ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma
instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan
untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah
paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme
adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam
dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi.
Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value)
agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah
fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada
minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara
atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara
sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan.
Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan
positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut
perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau
manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan.
Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam
masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan
critical theory Madzhab Frankfurt.
Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri.
Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu
pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah
diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma
tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki
kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu
dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja,
sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial.
Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih
menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi
tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu
memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan
lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi
karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif
sosiolog dalam proses perubahan sosial.
Dengan prinsip
“multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan
dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang
sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma
saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat
terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas.
Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk
itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma
intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami
kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik
dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah
kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat.
Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi
juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi
hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian
inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat
dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi
profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk
memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya
analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.
Label:
Tugas Kampus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Desti Wulandari
- Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
- * Mahasiswi Universitas Lampung * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik * Jurusan Sosiologi'10
Blog Archive
-
▼
2011
(67)
-
▼
November
(22)
- MESIN-MESIN PEMERINTAHAN
- TEORI KONFLIK
- Paper UTS Perubahan Sosial
- PERAPIAN DATA
- SUMBER-SUMBER DATA DEMOGRAFI
- Paradigma Sosial
- SOSIOLOGI
- Paradigma-paradigma Sosiologi
- Hukum Waris Islam
- PRODUKSI
- PERKAWINAN DALAM ISLAM
- Filsafat Hukum
- Politik Hukum
- Disiplin Hukum Empiris
- Disiplin Konsep Hukum
- Disiplin Hukum Normatif
- DISIPLIN ILMU HUKUM
- SUMBER HUKUM
- KERAGAMAN ARTI DAN CARA PEMBEDAAN HUKUM
- HUKUM DAN MASYARAKAT
- Analogi
- Chi-Square
-
▼
November
(22)
Total Tayangan Halaman
Pengikut
Labels
- ✿ ♥ ✿ (1)
- 2013 m (1)
- Alone (1)
- ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL (1)
- Beberapa Cara Membaypass Login Mikrotik Wi-Fi (HotSpot) (1)
- BELIEVE (1)
- Cara Membuat Subtitle indonesia dari Film Luar (1)
- Cara Rahasia Shortcut Ctrl+Enter pada Browser (1)
- CATNIP [Nepeta Cataria] (1)
- Curhat (2)
- health (3)
- Hope (1)
- Idul Adha 1433H (1)
- Kemaro Island (1)
- LAST MESSAGE FULL MEANING OF LIFE WITH HUMILITY (1)
- Mangan (1)
- Mengenang (1)
- Mungilnya Strawberry ku_^ (1)
- Nilai dan Norma (1)
- pengetahuan (1)
- Politik Hukum (1)
- Pray (1)
- Ramadhan (2)
- Sains (2)
- SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU (1)
- STORY (4)
- Tanpa Nama ... ??? (1)
- Teknologi (1)
- Tips (2)
- Tree (1)
- Tugas Kampus (80)
- Unik (20)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar