Jumat, 09 Maret 2012
ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL
18.09 | Diposting oleh
Desti Wulandari |
Edit Entri
1. Pengertian
Kebijakan Sosial dan Analisis Kebijakan Sosial
Keberhasilan
pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh kualitas
pelayanan langsung yang bersifat mikro juga dipengaruhi oleh sistem dan
arah kebijakan sosial yang bersifat makro. Kebijakan sosial tersebut
sangat menentukan tipe, jenis, sistem dan pendekatan pemberian pelayanan
sosial kepada kelompok sasaran. Pengetahuan mengenai analisis kebijakan
sosial sangat penting untuk menentukan apakah suatu kebijakan tersebut
memiliki dampak positif atau negatif terhadap masyarakat, apakah
kebijakan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan apakah
kebijakan tersebut mampu merespon masalah-masalah sosial yang dirasakan
oleh masyarakat.
a. Pengertian
Kebijakan Sosial
Istilah ‘kebijakan’
yang dimaksud dalam materi ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris
‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’
atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki
banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’ (social). Untuk
menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan
terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya.
Menurut Ealau dan
Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan
oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya
maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997).
Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara
bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss
mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan
yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997). Kebijakan,
menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan
yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang
dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Seperti halnya kata
‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun memiliki beragam pengertian. Conyers
(1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian:
· Kata sosial
mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan
dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan.
Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai
kegiatan sosial.
· Kata sosial
diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial
memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu
kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas
(community).
· Kata sosial
sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian
benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan
kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau
infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
· Kata sosial
sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi
dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat
volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan
finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah
organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari
keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi,
seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya
kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
· Kata sosial
berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi (human right) dan
hak sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh
pendidikan, pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam menyatakan pendapat,
atau berpartisipasi dalam pembangunan.
Dalam kaitannya
dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara
luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas kata sosial
menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor
pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau
kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain
bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau
pertanian.
Dalam arti sempit,
kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang
atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama
mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung
(disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata
sosial di sini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan
sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan,
ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna
susila, kenakalan remaja, anak dan jompo terlantar.
Dengan demikian,
kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek
sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang
kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras
dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan
perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama
kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun
pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di
masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa
berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
Beberapa ahli
seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan kebijakan sosial
dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial (Suharto, 1997).
· Kebijakan
sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau
rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan
sosial (Huttman, 1981).
· Kebijakan
sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang
memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui
penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall,1965).
· Kebijakan
sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial,
peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial
(Rein, 1970).
· Kebijakan
sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan
publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti
kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan
(militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik).
Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986).
b. Pengertian
Analisis Kebijakan Sosial
Analisis kebijakan
(policy analysis) dapat dibedakan dengan pembuatan atau pengembangan
kebijakan (policy development). Analisis kebijakan tidak mencakup
pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan datang. Analisis
kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakn yang sudah ada.
Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses
pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru.
Namun demikian, baik
analisis kebijakan maupun pengembangan kebijakan keduanya memfokuskan
pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Analisis kebijakan mengkaji
kebijakan yang telah berjalan, sedangkan pengembangan kebijakan
memberikan petunjuk bagi pembuatan atau perumusan kebijakan yang baru.
Dengan demikian,
maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan sosial adalah usaha
terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation) dan
preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap
konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang telah diterapkan.
Penelaahan terhadap kebijakan sosial tersebut didasari oleh oleh
prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan
sebagai berikut:
1. Penelitian dan
rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis
yang dilakukan.
2. Orientasi nilai
yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial
tersebut berdasarkan nilai benar dan salah.
3. Pertimbangan
politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan dan
stabilitas.
Ketiga alternatif
tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji atau menelaah
aspek-aspek kebijakan sosial yang meliputi:
1. Pernyataan
masalah sosial yang direspon atau ingin dipecahkan oleh kebijakan
sosial.
2. Pernyataan
mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan sosial tersebut
diimplementasikan atau diterapkan.
3. Berbagai
pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau
akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu
kebijakan sosial.
Secara sederhana,
maka analisis kebijakan sosial dapat digambarkan kedalam Tabel 1 berikut
ini:
2. Proses
Perumusan Kebijakan Sosial
Proses perumusan
kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: Tahap
Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Setiap tahap
terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait: Secara garis besar,
tahapan perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut (Suharto,
1997):
a. Tahap
Identifikasi
(1) Identifikasi
Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam perumusan kebijakan sosial
adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan sosial yang dialami
masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
belum terpenuhi (unmet needs).
(2) Analisis
Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan
memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya
dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi.
Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa
kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah
tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana
yang terkena masalah?
(3)
Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis
disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan kepada
berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan
sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula
diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan
disetujui.
(4) Perumusan
Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat
dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh
alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis
kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
(5) Pemilihan
Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk
menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan
efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga
dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan
sosial yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
(6) Penentuan
Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan
dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator
sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana
tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
(7) Membangun
Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini adalah
menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan.
Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan,
melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok
masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan
sosial yang akan diterapkan.
b. Tahap
Implementasi
(8) Perumusan
Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan
kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan
pelaksanaannya.
(9) Perancangan
dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah
mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program
proposals) atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada
sasaran program.
c. Tahap Evaluasi
10. Evaluasi dan
Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan
pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan
antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti
garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil
dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana
kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi
ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan
dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan
kebijakan baru.
3. Mekanisme dan
Isu-Isu Kebijakan Sosial
Untuk lebih memahami
proses perumusan kebijakan sosial, kiranya perlu ditelaah secara singkat
mekanisme dan kerangka kerja perumusan kebijakan sosial. Telaah ini akan
membantu kita dalam memahami peranan lembaga atau aktor yang terlibat
dalam merumuskan kebijakan sosial (Suharto, 1997)
Setiap negara
memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan
sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada
setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki
badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat
pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun
swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk
membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah
ini (Suharto, 1997)
a. Mekanisme
Kebijakan Sosial
(1) Departemen
pemerintahan. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab mengenai
perumusan kebijakan sosial kepada kementrian, departemen atau
lembaga-lembaga pemerintah yang berperan. Misalnya Departemen Sosial di
Indonesia merupakan salah satu departemen yang memiliki kewenangan
langsung dalam merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial. Di Departemen
Sosial, terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan penting dalam
kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan.
(2) Badan
Perencanaan Nasional. Dalam konteks pembangunan yang lebih luas,
perumusan kebijakan sosial juga seringkali menjadi tugas khusus dari
Badan Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk merumuskan dan
sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial. Badan Perencanaan
Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus yang menangani berbagai
perencanaan sosial sekaligus perumusan kebijakan sosial dalam
pembangunan nasional. Kebijakan yang dihasilkan lembaga ini kemudian
menjadi acuan bagi departemen dan lembaga-lembaga terkait dalam
melaksanakan berbagai program pembangunan.
(3) Badan
legislatif. Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial. Lembaga ini
biasanya memiliki komisi khusus yang mengurusi perumusan kebijakan
sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, di Indonesia, DPR memiliki komisi
khusus yang bertanggungjawab mengatur urusan ekonomi, hukum, dan
kesejahteraan sosial.
(4) Pemerintah
Daerah dan Masyarakat Setempat. Di sejumlah negara di mana administrasi
pemerintahannya lebih terdesentralisasi, Pemerintah Daerah (PEMDA)
memiliki peran yang sangat penting dalam perumusan kebijakan sosial,
khususnya yang menyangkut persoalan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
di daerahnya. Lebih-lebih lagi di negara-negara yang telah sangat matang
menjalankan konsep demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan
kewenangan dalam mengungkapkan aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi
bagian dari tema-tema penting dalam kebijakan sosial.
(5) Lembaga Swadaya
Masyarakat. Peranan lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi
non pemerintah (ORNOP) adalah berbeda dalam setiap negara. Namun
demikian, kini terdapat kecenderungan bahwa di negara-negara berkembang,
pemerintah semakin memberi peran yang leluasa kepada sektor-sektor non
pemerintahan untuk juga terlibat dalam perumusan kebijakan-kebijakan
sosial. Hal ini terutama terjadi sejalan dengan rekomendasi atau bahkan
tekanan dari negara-negara donor yang memberi bantuan dan konsultasi
finansial kepada negara yang bersangkutan. Selain itu, kini semakin
disadari bahwa sebesar apapun pemerintah menguasai sumber-sumber ekonomi
dan sosial, tidaklah mungkin mampu memenuhi kebutuhan segenap lapisan
masyarakat secara memuaskan.
b. Isu-Isu
kebijakan Sosial
Kebijakan sosial
tidak dapat dilepaskan dari proses dan dimensi pembangunan secara luas.
Karenanya perlu ditelaah secara singkat beberapa isu kebijakan sosial
yang mungkin timbul dan perlu dipertimbangkan dalam proses dan mekanisme
perumusan kebijakan sosial (Suharto, 1997)
(1). Peran negara
dan masyarakat. Walaupun pemerintah memiliki peran yang besar dalam
perumusan kebijakan sosial, tidaklah berarti bahwa hanya pemerintah
sajalah yang berhak menangani masalah ini. Seperti dinyatakan dimuka,
bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu memenuhi seluruh kebutuhan
warganya. Sebesar apapun sumber-sumber ekonomi-sosial yang dimilikinya
dan sehebat apapun kemampuan para pejabat dan aparatur pemerintah, tetap
membutuhkan peran masyarakat.. Oleh karena itu, perumusan kebijakan
sosial mensyaratkan adanya keseimbangan dan proporsionalitas dalam hal
pembagian peran dan kekuasaan pemerintah dan masyarakat.
(2) Perangkat
Hukum dan Penerapannya. Perangkat hukum memiliki kekuatan memaksa,
melalui sangsi dan hukuman yang melekat di dalamnya. Kebijakan sosial
memerlukan perangkat hukum yang dapat mendukung diterapkannya kebijakan
sosial. Kebijakan sosial dapat berjalan secara efektif apabila
dinyatakan secara tegas melalui perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya. Namun demikian, adakalanya perangkat hukum yang sudah
ada tidak dapat diimplementasikan secara baik dalam kegiatan-kegiatan
operasional, baik dikarenakan oleh faktor manusianya, maupun kurang
lengkapnya peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci
perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, perlu usaha keras agar
terjamin adanya keselarasan antara perangkat hukum dan implementasinya.
Ketidak-konsistenan antara ‘dassein’ dan ‘dasollen’ akan menimbulkan
ketidak-percayaan masyarakat dan merosotnya citra lembaga-lembaga
pembuat kebijakan, yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis dan
bahkan antipati masyarakat kepada setiap produk kebijakan sosial.
(3) Koordinasi
antar Lembaga. Seperti sudah dinyatakan di muka, kebijakan sosial
seringkali menjadi urusan berbagai departemen dan lembaga, baik
pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan
kerjasama antar lembaga tersebut agar kebijakan sosial tidak bersifat
tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lain.
(4) Sumber Daya
Manusia. Aspek mengenai SDM ini menyangkut jumlah dan kualitas para
pembuat kebijakan yang akan diserahi tugas dalam merumuskan kebijakan
sosial. Meskipun kebijakan sosial, menyangkut ‘aspek sosial’, tetapi
dalam merumuskan kebijakan tersebut diperlukan sejumlah orang yang
memiliki beragam profesi dan latar belakang akademik tertentu. Oleh
karena itu, perumusan kebijakan harus memperhatikan kualifikasi SDM yang
tepat. Selain ahli-ahli sosial, perumusan kebijakan sosial seringkali
membutuhkan pakar-pakar ekonomi, hukum, dan bahkan ahli statistik.
(5) Pentingnya
pelayanan sosial. Pentingnya pelayanan sosial bagi peningkatan kualitas
hidup masyarakat merupakan isu penting lainnya yang perlu mendapat
perhatian dalam kebijakan sosial. Isu ini terutama muncul karena adanya
kecenderungan pemerintah yang semakin menurunkan anggaran belanjanya
untuk kepentingan-kepentingan pelayanan sosial. Pelayanan sosial pada
dasarnya merupakan investasi sosial yang berkorelasi positif dengan
kualitas hidup masyarakat. Pengalaman penulis berkunjung ke Costa Rica
menunjukkan bahwa berkat kesigapan pemerintah dalam mengalokasikan
sumber daya bagi pelayanan sosial, kualitas hidup warga masyarakat
negara tersebut sangat memuaskan terutama bila dilihat dari indikator
kualitas hidup (Human Development Index), seperti angka harapan hidup,
jumlah kematian bayi per 1000 kelahiran, dan bahkan pendapatan per
kapitanya.
(6) Penentuan
prioritas pelayanan sosial. Di sebagian besar negara berkembang
keinginan untuk memperbaiki pelayanan sosial sangat besar, namun
demikian sumber dana untuk pengadaan pelayanan tersebut sangat terbatas
(Conyers, 1991). Ini berarti bahwa kebijakan sosial harus mampu
diprioritaskan terhadap pelayanan sosial yang benar-benar penting dan
berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat. Misalnya, apakah pelayanan
sosial akan lebih diprioritaskan untuk perawatan anak terlantar, para
manula, para penyandang cacat, rehabilitasi permukiman kumuh, atau
peningkatan peran pemuda dan wanita.
(7) Penentuan
bentuk pelayanan sosial. Isu berikutnya berkaitan dengan pertanyaan
mengenai bentuk-bentuk pelayanan sosial apa yang cocok untuk negara
berkembang. Dewasa ini semakin disadari bahwa bentuk-bentuk dan standar
pelayanan di negara maju tidak dapat sepenuhnya diterapkan di negara
berkembang. Oleh karena itu, perlu diusahakan suatu bentuk pelayanan
sosial yang sesuai dengan kondisi setempat dan cocok ditinjau dari segi
fisik, ekonomi, sosial dan politik negara yang bersangkutan. Secara luas
kita dapat mengusulkan apakah pelayanan sosial akan berbentuk uang tunai
(cash payment), barang (benefit in kind), atau berupa bantuan konsultasi
dan pelatihan-pelatihan.
(8) Distribusi
pelayanan sosial. Hampir bisa dipastikan bahwa semua negara menghadapi
masalah yang sama dalam kaitannya dengan persoalan ‘supply’ dan ‘demand’
pelayanan sosial, dalam arti kebutuhan akan pelayanan sosial selalu
lebih besar dari kemampuan pemerintah atau lembaga penyelenggara dalam
mengusahakan pelayanan sosial. Keadaan ini tentunya memaksa kita untuk
memikirkan secara sungguh-sungguh mengenai distribusi pelayanan sosial.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pendistribusian
pelayanan ini antara lain menyangkut segi geografis (desa, kota, daerah
khusus), jender (pria, wanita, atau waria), usia (anak, remaja, manula)
atau berdasarkan permasalahan-permasalahan khusus yang mendesak untuk
segera dipecahkan.
(9) Penetapan
kuantitas atau kualitas pelayanan sosial. Karena sumber daya manusia dan
dana relatif selalu terbatas, maka isu mengenai pilihan dalam menentukan
kuantitas dan kualitas pelayanan harus pula menjadi bahan pertimbangan
yang matang bagi para pembuat kebijakan sosial. Antara kuantitas dan
kualitas pelayanan sering kali terjadi trade-off, dilema, sehingga perlu
ditentukan mana dahulu yang akan diutamakan. Misalnya, mengingat masih
besarnya sasaran pembangunan kesejahteraan sosial, peningkatan jumlah
lembaga pelayanan kesejahteraan sosial masih dianggap lebih penting
daripada meningkatkan kualitas pelayanan lembaga tersebut. Dengan
demikian, secara terpaksa diadakan pengorbanan dalam hal kualitas
pelayanan sosial.
(10) Pembiayaan
pelayanan sosial. Isu kebijakan sosial lainnya yang sangat penting
adalah mengenai pendanaan pelayanan sosial yang menyangkut, sistem,
sumber dan metoda pendanaan. Terdapat suatu sistem di mana pelayanan
sosial sepenuhnya atau sebagian besar dibiayai oleh pemerintah yang
dananya diambil dari subsidi sektor-sektor lain dalam bidang
perekonomian negara tersebut. Pelayanan pendidikan dasar merupakan salah
satu contoh sistem ini. Sebaliknya, ada pula pelayanan sosial yang
didasarkan pada segi komersial, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta, seperti asuransi kesehatan dan asuransi sosial
tenaga kerja. Kini terdapat kecenderungan di mana sistem pendanaan
lembaga pelayanan sosial (panti jompo, TPA) yang tadinya disubsidi penuh
oleh pemerintah, kini bersifat komersial. Pada kenyataanya, sebagian
besar negara maju dan berkembang banyak yang memilih jalan tengah di
antara kedua sistem di atas.
4. Model-Model
Analisis Kebijakan Sosial
Menurut Dunn (1991),
analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai
metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang
relevan dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang mungkin timbul
akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis
kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab
dan akibat-akibat suatu kebijakan.
Menurut Quade (1982)
analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan
informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan
para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-penilaian terhadap
penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif
perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal
dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau
masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang telah
dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat
pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan
berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak
diterapkannya suatu kebijakan.
Analisis kebijakan
pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen
rasional mengenai tiga pertanyaan yang berkaitan dengan;
a. Fakta-fakta;
b. Nilai-nilai; dan
c. Tindakan-tindakan
Berdasarkan hal
tersebut, maka ada tiga model pendekatan dalam analisis kebijakan
sosial, yaitu:
a. Pendekatan
Empiris;
b. Pendekatan
Evaluatif; dan
c. Pendekatan
Normatif.
Tabel 2 menunjukkan
bagaimana ketiga pendekatan tersebut beroperasi dikaitkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasarinya serta jenis-jenis informasi yang
dihasilkannya.
Dalam kaitannya
dengan tiga model tersebut, terdapat empat prosedur analisis yang dapat
dijadikan patokan dalam melakukan analisis kebijakan sosial:
a. Monitoring yang
dapat menghasilkan informasi deskriptif mengenai sebab-sebab dan
akibat-akibat kebijakan.
b. Peramalan yang
dapat menghasilkan prediksi atau informasi mengenai akibat-akibat
kebijakan di masa depan.
c. Evaluasi yang
dapat menghasilkan informasi mengenai nilai atau harga dari
dampak-dampak kebijakan yang telah lalu maupun di masa datang.
d. Rekomendasi
yang dapat memberikan preskripsi atau informasi mengenai
alternatif-alternatif atau kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan dari
suatu kegiatan.
5. Merumuskan
Masalah Kebijakan Sosial
Perumusan masalah
kebijakan sosial adalah suatu proses penyelidikan untuk mengumpulkan
informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang
mempengaruhi kelompok sasaran. Perumusan masalah kebijakan juga mencakup
pencarian solusi-solusi terhadap dampak-dampak kebijakan yang bersifat
negatif.
Masalah-masalah
kebijakan sosial secara umum memiliki enam elemen, yaitu:
a. Masalah
kebijakan. Informasi ini meliputi argumen mengenai bukti-bukti
pemasalahan, alternatif-alternatif kebijakan, tindakan-tindakan
kebijakan, hasil-hasil kebijakan, dan keberhasilan-keberhasilan
kebijakan.
b. Klaim
kebijakan. Klaim kebijakan adalah kesimpulan-kesimpulan mengenai
argumen-argumen kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah harus berinvestasi
dalam bidang pendidikan atau mengeluarkan dana lebih besar lagi bagi
penanggulangan anak jalanan dsb.
c. Justifikasi
atau pembenaran. Aspek ini meliputi asumsi mengenai argumen kebijakan
yang memungkinkan analisis kebijakan untuk melangkah dari masalah
kebijakan ke klaim kebijakan. Suatu asumsi bisa mencakup informasi yang
bersifat otoritatif, intuitif, analitis, kausal, pragmatis maupun
kritis.
d. Pendukung.
Pendukung adalah informasi-informasi yang dapat digunakan sebagai dasar
yang mendukung justifikasi. Pendukung dapat berupa hukum-hukum keilmuan,
pendapat-pendapat para ahli atau prinsip-prinsip etis dan moral.
e.
Keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan. Keberatan-keberatan adalah
kesimpulan yang kedua atau argumen alternatif yang menyatakan bahwa
suatu kondisi tidak dapat diterima (ditolak) atau dapat diterima dengan
syarat-syarat tertentu.
f. Prasyarat.
Aspek ini merupakan kondisi-kondisi yang dapat meyakinkan atau menjadi
dasar bagi analis kebijakan untuk membenarkan klaim kebijakan. Dalam
analisis kebijakan, prasyarat biasanya dinyatakan dalam bahasa
“kemungkinan” atau probabilitas. Misalnya, “kemungkinan besar”,
“kecenderungannya adalah” atau “pada taraf signifikansi 1 persen”.
Perumusan masalah
kebijakan, tidak dapat dilakukan begitu saja, melainkan harus memenuhi
beberapa syarat agar dapat diterima secara logis. Prasyarat tersebut
meliputi:
a. Perumusan
masalah harus jelas atau tidak ambigu.
b. Produk analisis
harus terbaru (up-to-date).
c. Produk analisis
harus berharga atau bernilai (valuable).
d. Proses analisis
tidak bersifat konvensional, artinya menggunakan teknik-teknik yang
mutakhir.
e. Proses analisis
memiliki daya motivasi, berkesinambungan, berhubungan satu sama lain dan
komprehensif.
Teknik-teknik dalam
perumusan masalah kebijakan:
a. Analisis
Klasifikasi. Teknik ini dipergunakan untuk memperjelas konsep yang
digunakan dalam mendefinisikan situasi problematis. Prinsip-prinsip dari
sistem klasifikasi adalah:
(1) Relevansi
Substantif. Dasar klasifikasi harus dibangun menurut tujuan analisis dan
situasi problematis.
(2) Ketuntasan.
Dasar klasifikasi harus memiliki argumen yang tepat dan benar-benar kuat.
(3) Keterpilahan.
Kategori-kategori harus benar-benar terpilah dan berdiri sendiri agar
tidak ada kelompok yang masuk dalam dua kategori.
(4) Konsistensi.
Kategori-kategori harus bersifat pasti atau tetap berdasarkan sistem
klasifikasi tunggal sehingga kesimpulan tidak bersipat tumpang tindih
atau mengalami “the fallacy of cross division” (kekeliruan dalam
pembagian silang).
(5) Pembedaan
hirarkis. Tingkat dalam sistem klasifikasi harus dapat dibedakan secara
jelas; mulai dari kategori, sub-kategi, sampai sub-sub kategori.
b. Analisis
Hirarki. Teknik ini dipakai untu menganalisis sebab-sebab yang mungkin
dalam sistem permasalahan. Terdapat tiga macam sebab yang perlu
diperhatikan dalam analisi hirarki:
(1) Sebab yang
mungkin (possible cause).
(2) Sebab yang masuk
akal (plausible cause). Sebab ini didasari penelitian ilmiah atau
pengalaman langsung.
(3) Sebab yang dapat
dirubah (actionable cause) atau disebut pula sebab yang dapat dikontrol
dan dimanipulasi.
c. Synectic.
Teknik ini dilakukan untuk mengembangkan pengenalan masalah secara
analogis. Beberapa prinsip analogi meliputi:
(1) Analogi personil.
Analis berusaha membayangkan dirinya mengalami situasi-situasi
problematis sebagaimana dialami kelompok sasaran kebijakan.
(2) Analogi langsung.
Mencari hubungan serupa diantara 2 atau lebih situasi problematis.
(3) Analogi simbolik.
Menemukan contoh yang serupa dengan situasiproblematik dengan
menggunakan simbol-simbo.
(4) Analogi fantasi.
Secara bebas mencari kesamaan antara situasi problematis secra khayali.
d. Branstorming
atau curah pendapat. Teknik memunculkan ide atau gagasan, tujuan dan
strategi-strategi tertentu dengan melibatkan banyak pihak dalam suatu
forum diskusi.
e. Analisis Asumsi.
Teknik untuk menciptakan sintesa (kesimpulan) kreatif atas beberapa
asumsi mengenai masalah-masalah kebijakan. Prosedur analisis asumsi
meliputi:
(1) Identifikasi
pelaku yang terlibat (stakeholder identification).
(2) Pemunculan
asumsi (assumption surfacing).
(3) Pembenturan atau
penentangan asumsi (assumption challenging).
(4) Pengelompokan
asumsi (asumption pooling).
(5) Sintesa asumsi
atau penyimpulan asumsi.
G. EVALUASI
1. Kemampuan
peserta dalam menjelaskan pengertian pekerjaan sosial dengan masyarakat.
2. Kemampuan
peserta dalam menyebutkan prinsip-prinsip metoda pekerjaan sosial dengan
masyarakat.
3. Kemampuan
peserta dalam mengutarakan proses pekerjaan sosial dengan masyarakat.
4. Kemampuan
peserta dalam menyebutkan model-model pekerjaan sosial dengan masyarakat.
H. DAFTAR
PUSTAKA
Conyers,
Diana, (1992), Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga (Penterjemah
Susetiawan), Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Dunn,
William N. (1981), Public Policy Analysis: An Introduction, New
Jersey: Prentice Hall
Huttman,
Elizabeth Dickerson (1982), Introduction to Social Policy, New
York: McGraw-Hill
Kartasasmita,
Ginanjar (1996), Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Malang:
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
Meyr, Robert
R (1995), Policy and Program Planning: A Developmnt Perspective,
Englewood Cliff: Prentice-Hall
Moekijat
(1995), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju
Quade, E.S.
(1982), Analysis for Public Decisions, New York: Elsevier
Science
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekrjaan
Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung:
Lembaga Studi Pembangunan. I. REFERENSI http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_17.htm |
Label:
ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Desti Wulandari
- Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
- * Mahasiswi Universitas Lampung * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik * Jurusan Sosiologi'10
Blog Archive
-
▼
2012
(69)
-
▼
Maret
(41)
- Kritik Terhadap Teori Kritis
- Pemikiran Teori Kritis Generasi Selanjutnya: Jürge...
- Pengertian Tentang Teori Kritis dan Sejarah Pemiki...
- Masa Awal Pemikiran Teori Kritis: Horkheimer, Marc...
- Diskusi dengan Postmodernisme
- Kritik Habermas atas Masyarakat Dewasa Ini
- Habermas dan Pergeseran ke Paradigma Komunikasi
- Teori Kritis Mahzab Fankfurt
- Feminisme
- Kajian Budaya
- Postmodernisme,Postsrukturalis,Postkolonialisme
- Frankfurt School
- Marxisme
- teori-teori yang barada dalam tradisi kritis
- ciri khas teori-teori dalam tradisi kritis
- Asumsi Dasar Teori Kritis.
- Fase- fase Perkembangan Madzhab Frankfurt
- Mazhab Frankfurt
- Perkembangan Teori Kritis
- Epistemologi Teori Kritis
- Teori Kritis
- Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis
- Teori Kritis Jurgen Habermas
- ADORNO DAN TEORI KRITIS
- HABERMAS DAN TEORI KRITIS
- MEMAHAMI TEORI KRITIS
- Teori Kritis, Adorno, dan Habermas
- Manfaat Sosiologi
- Lahirnya Sosiologi
- Sosiologi dan Ilmu-Ilmu Sosial lainnya.
- Methode Sosiologi
- Sosiologi sebagai ilmu
- Obyek Kajian Sosiologi
- Pengertian Sosiologi
- Tanpa Nama ... ???
- Mungilnya Strawberry ku_^
- Dasar Perencanaan
- Sosiologi Industri
- Mengenang III
- ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL
- Sosiologi Perkotaan
-
▼
Maret
(41)
Total Tayangan Halaman
Pengikut
Labels
- ✿ ♥ ✿ (1)
- 2013 m (1)
- Alone (1)
- ANALISIS KEBIJAKAN SOSIAL (1)
- Beberapa Cara Membaypass Login Mikrotik Wi-Fi (HotSpot) (1)
- BELIEVE (1)
- Cara Membuat Subtitle indonesia dari Film Luar (1)
- Cara Rahasia Shortcut Ctrl+Enter pada Browser (1)
- CATNIP [Nepeta Cataria] (1)
- Curhat (2)
- health (3)
- Hope (1)
- Idul Adha 1433H (1)
- Kemaro Island (1)
- LAST MESSAGE FULL MEANING OF LIFE WITH HUMILITY (1)
- Mangan (1)
- Mengenang (1)
- Mungilnya Strawberry ku_^ (1)
- Nilai dan Norma (1)
- pengetahuan (1)
- Politik Hukum (1)
- Pray (1)
- Ramadhan (2)
- Sains (2)
- SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU (1)
- STORY (4)
- Tanpa Nama ... ??? (1)
- Teknologi (1)
- Tips (2)
- Tree (1)
- Tugas Kampus (80)
- Unik (20)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar