Minggu, 11 Maret 2012

PostHeaderIcon Asumsi Dasar Teori Kritis.

Asumsi Dasar Teori Kritis.
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
a) Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
 
b) Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial
tertentu, misalnya material-ekonomis.
 
c) Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran
filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk
mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
 
d) Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh
dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai
adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.

Pada dasarnya Teori Kritis Aliran Frankfurt ingin memperjelas struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan
kebudayaan secara rasional. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan
konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.
Frankfurt School merupakan istilah populer untuk menyebut kelompok cendekiawan yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Sosial Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga
ini didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923 dan mendapat dukungan dari sekelompok intelektual Marxian yang berlatarbelakang berbagai disiplin ilmu pengetahun. Di antara
mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dan yang paling kontemporer adalah Habermas. Meskipun mereka sangat dipengaruhi oleh Marx namun mereka
berpendapat bahwa teori Marx sudah tidak mampu mengungkapkan sifat masyarakat secara akurat, sehingga mereka memandang perlu dikembangkan lebih lanjut.
Cendekiawan yang tergabung dalam aliran ini memiliki ciri khas yaitu kritis terhadap berbagai aspek kehidupan sosial untuk mengungkapkan sifat masyarakat modern secara lebih akurat. Tak heran
jika kemudian aliran mereka disebut sebagai teori kritis. Mereka mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari keinginan untuk memperoleh teori sosial dan epistemologi alternatif terhadap
paradigma positivisme yang dianggap sudah tidak relevan lagi.

Madzhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme ekonomi berangkat dari asumsi pemikiran positivistik
yang menganggap bahwa metode ilmu alam dan prinsip ilmu alam dapat diterapkan dengan tepat pada bidang ilmu pengetahuan sosial budaya. Mereka memandang ilmu pengetahuan sosial budaya
tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar sangat berbeda dengan manusia dan kegiatannya. Dalam pandangan Habermas paradigma positivisme itu mengabaikan
peran manusia sebagai aktor yang memiliki karakteristik khas dan unik tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun oleh Madzhab Frankfurt ingin melepaskan kehidupan dari model cara
berpikir positivisme (rasionalitas instrumental) dimana terjadi penjajahan dunia kehidupan (labenswelt) oleh sistem.
Berangkat dari paradigma di atas maka Madzhab Frankfurt lebih menekankan kajiannya pada persoalan kultural. Mereka berkeyakinan bahwa ramalan Marx tentang akan hancurnya sistem
kapitalisme tidak akan terbukti. Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan mengembangkan mekanisme efektif seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih proporsional, sehingga revolusi
sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan terjadi. Bentuk penindasannya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus sehingga kaum pekerja menganggapnya sebagai sesuatu
yang normal. Atas dasar pertimbangan itu maka para eksponen madzhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio intrumental pada
masyarakat modern.

Menurut Madzhab Frankfurt, rasio instrumental telah menghasilkan budaya industri (culture industry) yang telah menghalangi perkembangan individu secara otonom. Penindasan yang
dilakukan oleh budaya industri lebih dominan dari sekedar dominasi ekonomi. Adorno dan Hokheimer mengatakan dalam Dialectical Imagination
, bahwa budaya industri telah membuat manusia tereifikasi. Manusia menjadi seperti robot yang dideterminasi oleh iklan yang ditampilkan
oleh media massa. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan, distandarkan oleh budaya industri. Kostumer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi
menjadi subjek, tapi menjadi budak dan objek.

Sementara itu dalam analisis Herbert Marcuse, rasionalitas instrumental dan kungkungan industri budaya yang demikian massif telah menjadikan manusia menjadi manusia satu dimensi (
one dimensional man). Hampir semua eksponen Mazhab Frankfurt pesimis terhadap budaya massa.Nada pesimis Marcuse lebih tampak dalam analisanya terhadap budaya massa yang ditampilkan oleh
media massa: The means of... communication..., the irresistible output of the entertainment and information industry carry with them prescribed attitudes and habits, certain
intellectual and emotional reactions which bind the consumers... to the producers and, through the latter to the whole [sosial system]. The products indoctrinate and
manipulate; they promote a false consciousness which is immune against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought and behaviour.
(Marcuse, cited in Bennett 1982: 43). Dalam bukunya yang paling berpengaruh One-Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa
dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti
dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir madzhab Frankfurt (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer (popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini.

Mengenai budaya populer Adorno memberikan karakteristiknya. Menurutnya karakteristik fundamental dari budaya populer, khususnya dalam musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan bentuk high culture yang dianggap adiluhung. Mengapa para eksponen Mazhab Frankfurt tampak pesimis dengan budaya massa? Karena budaya
massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama untuk memonopoli modal. Budaya massa ini mencakup di dalamnya segala hal yang diproduksi dan disebarluaskan secara massal.
Tokoh lain dari Madzhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas. Habermas memberikan jalan keluar untuk mengatasi patologi modernitas itu, yaitu dengan beralih dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas komunikatif yang mengandaikan adanya situasi pembicaraan yang ideal. Habermas beralih ke paradigma komunikasi dengan mengintegrasikan
linguistic-analysis dalam Teori Kritis.
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas untuk mengatasi kemandekan Teori Kritis para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru. Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung selesai.
 
Hebermas berusaha mengatasi kebuntuan itu dengan beralih ke paradigma komunikasi. Sebenarnya menurut Habermas, dalam pemikiran Hegel sendiri yang menjadi induk dari teori sosial kritis, praksis bukan hanya dimaknai sebagai kerja tetapi komunikasi. Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Selanjutnya bagaimana mencapai konsensus dalam komunikasi? Menurut Habermas dalam komunikasi setiap komunikator ingin membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan
berusaha mencapai apa yang disebutnya klaim-klaim kesahihan (validity claims). Karena itu dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyebut empat macam klaim.
 
Pertama, klaim kebenaran (claim of truth) yaitu ketika kita sepakat kepada dunia alamiah dan objektif. Kedua, klaim ketepatan (claim of rigtness), kala kita sepakat pada pelaksanaan norma-norma dalam kehidupan sosial. Ketiga, klaim kejujuran (claim of sincerity) yaitu kalau kita sepakat tentang kesesuaian antara bathiniah dengan ekspresi seseorang.
 
Keempat, klaim komprehensibilitas (claim of comprehensibility) jika kita sepakat dan mampu menjelaskan ketiga klaim sebelumnya. Komunikasi yang efektif melibatkan keempat klaim tersebut karena merupakan standar kompetensi komunikatif.
 
Mengikuti alur pikir diatas maka untuk mencapai konsensus segala persoalan harus didialogkan dalam ruang yang bebas dari dominasi. Dialog dalam hal ini mengandaikan adanya kedudukan yang setara. Karena itu Habermas menekankan pentingnya etika dalam komunikasi seperti yang disebut di atas. Etika tersebut yaitu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi individu melalui kemampuan emansipatoris sehingga menghasilkan pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.
 
Terkait dengan dialog tersebut, Habermas memandang, salah satu mediumnya yaitu media massa.Media massa sebagai tempat untuk mengungkapkan pendapat dalam
public sphere. Karenanya Habermas mengandaikan media massa mestinya menjadi ruang yang bebas dari dominasi sehingga segala macam pemikiran dapat didialogkan tanpa ada paksaan. Namun, sepertinya idealisasi Habermas terhadap media massa sangat utopis dalam masyarakat kapitalisme lanjut sekarang. Apalagi media massa umumnya cenderung berada dalam genggaman para pemilik modal yang lebih
menekankan pada keuntungan dari budaya yang ditampilkannya.

Sebagai sebuah aliran pemikiran kontemporer, madzhab Frankfurt telah memberikan sumbangsih yang tak kalah pentingnya dengan pemikiran–pemikiran kontemporer lainnya. Dimulai dari konteks historis berkembangnya aliran tesebut, yang berkembang di eropa barat akibat situasi perang dunia ke II memaksa orang-orang yang tergabung di dalam madzhab tersebut untuk merevisi ulang alur pemikiran marx untuk menjelaskan situasi yang mereka alami. Perjalanan tersebut mengakibatkan mereka untuk mensintesiskan pemikiran Marx dengan teori psikoanalisinya Sigmund Freud.

Akan tetapi walaupun demikian mereka tetap berpedoman kepada alur pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisi ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritis historis dialektisnya Hegel. Imbas dari kolaborasi tersebut melahirkan teori kritis yang mengedepankan pencerahan yang menyadarkan orang terhadap proses penindasan dan ekploitasi manusia dalam tatanan sosial 


0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Desti Wulandari
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
* Mahasiswi Universitas Lampung * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik * Jurusan Sosiologi'10
Lihat profil lengkapku

Total Tayangan Halaman

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
Chococat is a registered trademark of Sanrio Co., Ltd. ("Sanrio"), and the images are copyrighted by Sanrio.